KH.AHMAD DAHLAN MUHAMADIYAH DULU vs MUHAMADIYAH SEKARANG
sekilas tentang keagamaan KH.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah yang beliau dirikan dengan Muhammadiyah sekarang yang telah menjadi sangat aneh dan tidak seperti yang pendiri harapkan, kami orang NU tetap bangga pada KH AHMAD DAHLAN dengan muhamadiyahnya dulu ketimbang muhamdiyah sekarang yang telah mulai aneh dan melepas semua madzhab 4 yang padahal dulu KH ahmad dahlan dirikan MD itu di bawah panji madzhabihil arba'ah tak ubahnya NU, kami generasi NU menangis sedih ketika orang MD sekarang tak lagi bisa menghargai pendahulunya,
berikut telaah sejarah oleh habib syaikh abdul qodir assegaf tentang beliau sang pendiri ormas MD kawan lama NU yang hilang termakan kepentingan
KH Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama
‘’Muhammad Darwis’’. Seusai menunaikan ibadah haji, beliau diganti
namanya oleh Sayyid Abu Bakar Syata, ulama besar yang bermadhab Syafii. Jauh sebelum
menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama. KH Ahmad Dahlan telah
belajar agama kepada Syeh Sholeh Darat. KH Sholih Darat adalah ulama’ besar
yang telah bertahun-tahun ngaji dan mengajar di Masjidilharam. Di Pondok
pesantren milik KH Murtadho (sang mertua), KH Sholih darat mengajar
santri-santri beragama ilmu agama, seperti; Alhilam (tasawof), Kitab
Al-Munjiyah (Karya Syeh Sholih Darat), Fikih (Kitab Lataif Al-Taharah), serta
beragam ilmu agama lainnya.
Di pesantren
ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim As’ary. Kedunaya sama-sama
mendalami ilmu agama dari ulama besar Syekh Sholih Darat. Waktu itu, Mohmmad
Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim As’ary berusia 14 tahun. Dalam
keseharian, Mohamamd Darwis memanggil Hasyim dengan sebutan ‘’Adi Hasyim’’.
Sementara, Hasyim As’ary memanggil Mohamamd Darwis dengan panggilan ‘’Mas
Darwis’’. Konon, semasa di Pesantren, keduanya sekamar. Keduannya menjadi
santri Syekh Sholih darat sekitar 2 tahun penuh.
Selepas
nyantri di Pesantren Syekh Sholih Darat. Keduanya mendalami ilmu agamanya di
Makkah, dimana Sang Guru Syekh Sholih Darat pernah menimba ilmu bertahun-tahun
lamanya. Tentu saja, sang Guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang
cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus
didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.
Puluhan
ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah nusantara. Praktek ibadah waktu, seperti;
tasawuf, wirid, tahlil, membaca barzanzi (diba’) menjadi bagian dari kehidupan
ulama-ulama nusantara. Hampir semua karya-karya Syekh Muhmmad Yasin Al-Fadani,
Syekh Muhammad Mahfud Al-Turmusi menceritakan tentang madhab al-Syafii dan
As’aryiyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang di ajarkan kepada
murid-muridnya, seperti; KH Ahmad Dahlan, Hasyim As’ary, Wahab Hasbullah, Syekh
Abdul Kadir Mandailing dll (lihat: Profil Pendidikan dan Ulama’ Indonesia di
Makkah: Abd. Adzim Irsad).
Seusai pulan
dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari
guru-gurunya di Makkah. Mohammad Darwis yang telah di ubah namanya menjadi
Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhamamdiyah. Sedangkan Hasyim As’ary
mendirikan NU (Nahdhotul Ulama’). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun
sejak menjadi santri Syekh Sholih Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci
Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam
urusan akidah, dan madhabnya.
Saat itu di
Makkah memang mayoritas bermadhab Syafii dan berakidah Asary. Wajar, jika
praktek ibadah sehari-hari KH Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di tanah
suci. Semisal sholat subuh, KH Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidah
pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut
Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadis dan juga memahami ilmu fikih.
Begitu Tarawihnya, KH Ahmad Dahlan praktek Tarawihnya 20 rakaat.
Penduduk
Makkah sejak ber-abad-abad, sejak masa Umar Ibn Al-Khttab, telah menjalankan
Tarawih 20 rakaat dengan tiga witir, hingga sekarang. Jumlah ini telah
disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, tarawih 20
rakaat merupakan Ijmak Sahabat. Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan 36
rakaat. Penduduk Madinah ber-anggapan, setiap pelaksanaan 2 X salaman, semua
beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thowaf sunnah.
Nyaris, pelaksanaan sholat tarawih hingga malam, bahkan menjelang shubuh.
Di sela-sela tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah
pahala ibadah. Bagi penduduk Madinah, untuk mengimbangi pahala, mereka melaksanakan
tarawih dengan jumlah lebih banyak.
Jika di
lihat dari pengertiannya, sebagaimana di dijelaskan oleh al-Hafiz
Ibn Hajar
al-A’sqallâniy dalam kitab Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy sebagai berikut:
سُمِّيَتْ الصَّلَاة فِي الْجَمَاعَة فِي لَيَالِي رَمَضَان
التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ مَا ِجْتَمَعُوا عَلَيْهَا كَانُوا
يَسْتَرِيحُونَ بَيْنَ كُلّ تَسْلِيمَتَيْنِ (فتح البارى في كتاب صلاة التراويح)
“Shalat
jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan Ramadhan dinamai Tarawih
karena para sahabat pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua
kali salam.
Istilah
Shalat Tarawih disebut juga shalat Qiyam Ramadhan, yang populer pada masa Umar
Ibn Al-Khattab ra. Dengan tujuan utamanya ialah, menghidupkan malam-malam bulan
Ramadhan dengan ibadah sholat. Shalat Tarawih termasuk salah satu ibadah yang
utama dan efektif guna mendekatkan diri kepada Allah. Sebenarnya, menghidupkan
malam Ramadhan, bukan saja tarawih. Namun, sholat merupakan ibadah paling
utama, dan ini telah dilakukan oleh jumhur (sebagian sahabat Nabi Muhammmad
Saw). Sesuai dengan penuturan Nabi Saw yang artinya:’’ barang siapa
menghidupkan Ramadhan dengan Qiyam atas dasar Iman dan semata-mata karena
mengharap pahala Allah Swt, maka dosa-dosa akan mendapat ampunan (HR Bukhori).
Jadi, baik KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asary tidak pernah ada perbedaan di
dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yanuar Ilyas ini menuturkan,
KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i,
termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat.
Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas
Mansyur, terjadilah revisi – revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang
menuntunkan tidak dipraktikkannya doa qunut didalam shalat subuh dan jumlah
rakaat shalat tarawih yang sebelas rakaat (Taqiyuddin Al-Baghdady: Mutiara
Sejarah Islam di Indonesia KH Ahmad Dahlan). Sedangkan alasan yang dikemukan
oleh dewan tarjih, karena Muhamamdiyah bukan Dahlaniyah.
Jadi, hakekat sholat Tarawih yang diajarkan oleh ulama sekaliber KH Ahmad
Dahlan sudah sesuai dengan ajaran Nabi Saw dan sahabatnya (Ijma’ Sahabat).
Praktek di Makkah dan Madinah hingga sekarang juga tetap 20 rakaat dan 3 witir.
Jadi, melaksanakan Tarawih 20 rakaat ditambah dengan 3 wirit berarti
melaksanakan kesepakatan ratusan sahabat Nabi Muhamamd Saw, sekaligus bentuk
kesetiaan terhadap Nabi Saw. Bagi pengikut Muhammadiyah, menjadi bukti
kesetiaan terhadap perintis dan penggagas Muhamamdiyah sejati.
Comments
Post a Comment