Hukum mengambil giliran arisan
Hukum mengambil giliran arisan
Masalah
Pada saat ini banyak kegiatan arisan uang atau barang. Dalam perkembangannya terjadi suatau cara sebagai berikut
A,
B, dan C berarisan, A mendapat giliran menerima arisan tetapi ridlo
haknya diterima oleh B yang juga anggota arisan, namun belum menerima
arisan/giliran. Penyerahan hak secara suka rela dibarengi ganti rugi
semacam jual beli hak, umpamanya :
Arisan sepeda motor memberi ganti rugi sebanyak Rp.15.000,- atau Rp. 25.000,-
Arisan
uang sebesar Rp. 100.000,- memberi ganti rugi sebanyak Rp. 10.000,-
sampai dengan Rp. 15.000,- sedangkan B masih punya hak giliran di lain
waktu.
Pertanyaan :
Bernama aqad apakah pergantian semacam ini?
Jawab :
Ala sabili al ihtiyat (menurut pendapat yang berhati-hati) aqad semacam itu termasuk aqad Qardlu jarro Naf’an
(hutang dengan menarik keuntungan) yang hukumnya tidak boleh (haram)
kecuali jika tidak ada janji dalam aqad (Fu al-sulbi al-aqdi). Boleh
dengan nama bai’ul Istihqoq.
Dasar pengambilan :
1. | Bughyatu Al-Mustarsyidin hal, 135 |
إِذِ
اْلقَرْضُ الفَاسِدُ المُحَرَّمُ هُوَ اْلقَرْضُ المَْشْرُوْطُ فِيْهِ
النَّفْعُ لِلْمُقْرِضِ، هَذَا اِنْ وَقَعَ فِي صُلْبِ العقد، فان تواطأ
عليه قبله ولم يذكر في صلبه أو لم يكن عقد جاز مع الكراهة كسائر حيل الربا
الواقعة لخير غرض شرعي.
Artinya:
Aqad
utang piutang yang fasid (rusak) dan haram ialah menghutangi dengan
janji pihak yang menghutangi mendapat keuntungan hal ini (haram) bila
syarat tersebut masuk (ikut) dalam isi transaksi, jika syarat mendapat
keuntungan itu berketepatan pada waktu sebelum terjadi transaksi dan
waktu transaksi tidak menyebut-nyebut janji keuntungan bagi yang
menghutangi, atau sama sekali tidak ada transaksi, maka hukumnya boleh
disertai makruh sperti makruhnya segala rekayasa riba yang terjadi bagi
selain tujuan syara’.
2. | I’anatu Al Tholibin, juz III, hal. 20 |
ومنه ربا القرض) أي ومن ربا الفضل: ربا القرض، وهو كل قرض جر نفعا للمقرض غير) نحو رهن. لكن لا يحرم عندنا إلا إذا شرط في عقده
Artinya:
(
Diantaranya ialah riba qordi ) artinya: termasuk bagian dair riba
fadli ialah qordli, yaitu setiap menghutangi yang mengambil untung/
manfaat bagi yang menghutangi, selain aqad gadai dan sesamanya haram,
hal itu tidak haram menurut kita, kecuali jika keuntungan itu di
ucapkan/di isyaratkan pada waktu transaksi (maka hukumnya haram).
3. | Al-Bajuri, juz I hal. 357 |
لم يكن هناك عقد – كمالو باع معاطاة وهو الواقع في أيامنا لم يكن ربا وإن كان حراما لكن أقل من حرمة الربا. اهـ
Artinya:
Jika disana (dalam syarat) tidak terjadi aqad (transaksi) seperti pada waktu jual beli dengan mu’athoh
( memberikan tanpa bicara), seperti yang terjadi saat ini, itu bukan
riba, jika terjadi keharaman maka lebih sedikit dari pada keharaman
riba.
4. | Fatawi al Kubro li ibni Hajar, juz III, hal. 23 |
والذي
صرّح به الأصحاب أن كل ما أبطل شرطه العقد لا يضرّ إضمار نية فيه، وذكر
صاحب الكافى أنه مع ذلك الإضمار هل يحلّ باطنا؟ وجهان قال : وأصحهما عندي
يحل لحديث عامل خيبر.
Artinya:
Sesuatu yang telah dijelaskan oleh santrinya imam syafi’I
: apabila sesuatu syarat yang dapat membatalkan aqad (transaksi) itu
tidak masalah, jika hanya tersimpan dalam hati (tidak masuk aqad)
shohibu al-kafi menjelaskan jika hal itu terjadi ( menyembunyikan
syarat dalam hati) apakah transaksinya secara batin dianggap halal? Ada
dua pendapat, menurutku yang paling shohih adalah halal dengan dasar
hadits tentang pengelola tanah (Nabi) di Khoibar.
Comments
Post a Comment