pancasila dalam diferensiasi



Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
menyediakan hubungan agama-negara tidak dalam pola integrasi dan separasi,
melainkan diferensiasi.

Indonesia adalah negara kesatuan. Sebagai Negara kesatuan, Indonesia menjadikan Pancasila sebagai ideologi nasional yang essensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan mengenai Pancasila sebagai basis nasionalisme sangat urgen bagi negara karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Padahal, fungsi utama ideologi adalah sebagai pemersatu bangsa serta pemberi arah bagi penyelenggaraan pemerintahan negara 
 
Diferensiasi merupakan pola yang menekankan toleransi kembar (twin tolerations) antara agama dan negara. Dalam posisi ini keduanya memiliki ruang yang berbeda, namun saling memperkuat dan tidak mencampuri. Agama membentuk keadaban masyarakat yang menopang keadaban negara. Sementara negara memberikan fasilitas dan kebebasan bagi terbangunnya keadaban keagamaan. Agama bisa menjadi agama public (public religion) yang positif bagi pengembangan kewarganegaraan modern. Sementara negara bisa mengadabkan tata politiknya berdasarkan asupan nilai subtantif keagamaan.

Dengan demikian Pancasila akhirnya menepis teori sekularisasi baik dalam bentuk pemudaran peran agama (secularization as religious decline), maupun privatisasi agama (secularization as privatization). Dalam teori ini, peran agama dianggap memudar di dalam tata politik modern. Agama telah digantikan oleh rasionalitas politik yang menekankan kemandirian konsepsi keadilan (freestanding conception of justice). Yakni sebuah konsep keadilan dan politik rasional, yang mandiri dari pandangan keagamaan. Hal sama terjadi pada privatisasi agama yang mengurung agamamurni dalam ruang privat. Hal ini tentu kontra-faktual, karena faktanya agama tetap aktif di ruang publik. Baik sebagai nilai-nilai kultural penyemai peradaban. Maupun dalam gerakan keagamaan yang menyuarakan islamisasi masyarakat.

Proses diferensiasi yang menopangkan agama dan negara dalam masing-masing wilayah mandirinya ini beralasan, karena corak ketuhanan dalam Pancasila ialah ketuhanan yang berkebudayaan. Inilah teori Soekarno tentang nilai ketuhanan kita. Dalam nilai ini, ketuhanan dalam Pancasila bukanlah ketuhanan yang merayu Tuhan sendirian, agar masing-masing hambanya masuk surga sendirian. Ketuhanan dalam Pancasila adalah ketuhanan yang diwujudkan melalui kerja kebudayaan

Hal ini terkait dengan hubungan per-sila Pancasila yang sequential: saling mengandaikan dan mengunci. Jadi, sila ketuhanan menjadi ruh bagi keempat sila di bawahnya. Demikian pula perwujudan sila pertama, haruslah melalui keempat sila lainnya. Dengan cara ini, maka corak demokrasi kitapun merujuk pada teo-demokrasi. Yakni demokrasi berketuhanan. Mengapa? Karena sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat/Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan” telah dilandasi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, daulat rakyat harus dibaca dalam satu tarikan napas, dengan daulat Tuhan. Artinya, kepemimpinan dan perwakilan politik harus dimaknai sebagai amanah Tuhan, yang diarahkan demi tegaknya kedaulatan rakyat dalam terang Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Desekularisasi 

Hubungan agama dan negara yang diferensiatif ini menolak dua pola hubungan antara Islam dan negara. Pertama, pola integratif. Dalam pola ini, Islam diintegrasikan ke dalam negara. Faktanya, kecenderungan untuk mewujudkan pola ini di negeri kita sebenarnya bersifat tahshil al-hasil, untuk meminjam kaidah fiqh. Artinya, mengupayakan sesuatu yang telah ada. Hal ini terjadi karena secara filosofis, kenegaraan kita bersifat ketuhanan, dengan adanya sila ketuhanan dalam Pancasila. Oleh karena itu bisa dipahami kenapa para ulama sejak Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 mendaulat negeri di wilayah Hindia-Belanda ini sebagai negeri Islam (dar al-Islam). Alasannya jelas, meskipun secara konstitusional Islam bukan landasan negara kita, namun umat Islam di dalamnya bebas melaksanakan syariat. Hal ini yang diperkuat dengan ditahbiskannya Presiden RI pada tahun 1954 sebagai waliyul amri al-dlaruri bissyaukah (pemimpin darurat yang sah untuk menerapkan syariah). Keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila mengamini adanya prinsip tauhid dalam konstitusi kita. Sebuah prinsip yang menjadi nilai utama dalam Islam.

Kedua, pola separasi. Yakni pemisahan agama dan negara. Tesis ini juga kontra-faktual, karena faktanya, negara-negara demokratis ternyata masih mengadopsi otoritas agama di dalam negara. Di wilayah kekristenan misalnya, gereja negara tetap berdiri di sebagian negara demokratis. Sejak 1990, lima dari lima belas negara Uni Eropa, yakni Denmark, Finlandia, Yunani, Swedia, dan United Kingdom memiliki gereja negara. Hal ini diperkuat dengan keberhasilan partai keagamaan seperti Partai Kristen Demokratik, dalam memimpin berbagai negara seperti Jerman, Australia, Belgia, Belanda dan juga partai Islam di Turki. Fenomena ini kemudian diperkuat lagi dengan fakta sebaliknya, yakni kecenderungan represif dari negara-negara yang melakukan sekularisasi, seperti Turki (rezim al-Taturk) dan Uni Soviet (komunis)

Jadi pada titik ini, kesatuan agama dan negara bukanlah standar bagi pemerintahan demokratis. Karena banyak negara demokrasi tetap mengadopsi agama dalam tata politiknya. Sementara beberapa negara yang memisahkan agama dari negara ternyata tidak demokratis. Oleh karena itu ada atau tidaknya klaim pemisahan agama dan negara sebenarnya merupakan pilihan historis (historical option) yang ditentukan oleh relasi kuasa dan kondisi suatu masyarakat. Bukan keniscayaan teoritis yang permanen. Portugal pada tahun 1976 misalnya, melakukan pelarangan atas partai yang berafiliasi agama. Namun pelarangan ini ternyata produk dari rezim militer anti-demokrasi (Latif, 2011: 97-109). Hal sama terjadi pada era Soeharto yang mendeislamisasi partai melalui azas tunggal Pancasila. Faktanya sekularisasi partai ini ternyata berkait dengan kepentingan pemerintah untuk memenangkan partai penguasa. Satu hal yang berbalik arah pasca Reformasi 1998, yang meluapkan kembali partai-partai Islam di panggung politik nasional.


Transformasi

Berangkat dari fakta ini maka pemahaman dikotomis antara agama dan negara, serta Islam dan Pancasila perlu dikaji ulang. Dengan keberadaan sila ketuhanan dalam Pancasila, maka secara filosofis, Islam telah menyatu” dengan negara. Tentu kesatuan ini bersifat filosofis, bukan formal-institusional. Karena sifat kesatuannya yang filosofis, peran Islam dalam negara kitapun tidak harus bersifat formal, melainkan etis-politis. Hal ini yang membuahkan pola hubungan Islam dan Pancasila dalam penafsiran baru yang transformatif, sehingga memadai bagi perjuangan keagamaan demokratik, dan cita demokrasi berketuhanan.

Pola hubungan baru ini ada dua hal. Pertama, Islamisasi Pancasila. Artinya, nilai-nilai Pancasila sebenarnya selaras dengan pandangan-dunia Islam, yakni keadilan (adalah), persamaan (musawah) dan musyawarah (syura). Tentu segenap nilai ini selaras dengan sila keadilan, persamaan hak manusiawi, dan demokrasi permusyawaratan. Oleh karena itu, pengangkatan harkat manusia dalam Pancasila bersifat ekuivalen dengan tujuan utama syariat (maqashid al-syariat) yang menyediakan lima hak dasar manusia; hak hidup (hifdz al-nafs), beragama (hifdz al-din), berpikir (hifdz alaql), berkeluarga (hifdz al-nasl), dan kepemilikan ekonomi (hifdz al-maal). Dengan demikian terpahami sudah bahwa secara mendasar, Pancasila bersifat Islamis.

Kedua, Pancasilaisasi Islam. Artinya, penggerakan diskursus keislaman pada ranah perjuangan kemanusiaan, keadilan, dan kerakyatan yang menjadi nilai utama Pancasila. Pada titik inilah pola hubungan diferensiasi, membuat Islam bisa otonom dari negara, namun sekaligus bisa mempengaruhi pelaksanaan negara. Dengan cara ini, Islam bisa membentuk masyarakat warga-Islami (civil Islam) yang strategis bagi oposisi kultural atas kekuasaan negara. Dengan demikian saya yakin bahwa Islam akhirnya tidak absen dari politik, walaupun tidak menjadi struktur utama kenegaraan.

lihat jug catatan sebelumnya dengan klik  http://musliminabdulazis-ac-ppsnh.blogspot.com/2013/03/seri-memahami-fikroh-nu-pancasila-dan.html


Comments

Popular posts from this blog

7. Istighfar 14 (Empat Belas) Tempat

SHOLAWAT BADAWIYAH

HUKUM MANAQIB pan