KORONA MEREBAK, IBADAH MALANG KADAK 1 & 2

DR. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie Al Hafidz Al hadist
(Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur'an Tebuireng Jombang)

MENYIKAPI 'ULAMA YANG TIDAK PERLU SHOLAT JUM'AT DI MASJID DI GANTI SHOLAT DHUHUR SAJA DAN MENYIKAPI 'ULAMA YANG TETAP SHOLAT JAMA'AH JUM'AT DI MASJID

[25/3 06:05] +62 813-3161-7980:

KORONA MEREBAK, IBADAH MALANG KADAK

Ahmad Musta'in Syafi'ie
Tentang virus korona, fatwa sudah banyak dan dalil sudah numpuk-numpuk.

Ada yang fiqih oriented, mengedepankan ikhtiar dan kehati-hatian, hingga tak jelas, apakah saking qadariahnya (free act) atau "ketakutan". 

Ada juga yang pasrah opo jare Gusti Allah, sehingga tidak jelas juga, apa saking jabariahnya (fatalistik) atau "dungu".

Hikmahnya, umat menjadi makin berpengetahuan. Baik dari madzhab jaga-jaga maupun dari madzhab pasrah. 

Yang jaga-jaga mengikuti protokol pemerintah, sangat loyal sekali, hingga membolehkan, bahkan menganjurkan umat islam tidak shalat jum'ah, tidak shalat jama'ah di masjid

Karena, yang dilarang menurut "madzhab korona"  adalah "ngumpulnya". Tak peduli ngumpul mubah, maksiat atau ngumpul ibadah.

Masing-masing harus melakukan social distancing. Dalil mereka a.l. :

Pertama, tidak boleh ada bahaya menimpa diri sendiri dan atau membahayakan orang lain. 

Kedua, Umar bin al-Khattab tidak mau masuk Damaskus yang sudah terpapar wabah akut.

Ketika ditegur, Umar malah membentak : "min qadarillah ila qadarillah" (saya lari dari taqdir Allah, menuju taqdir Allah).

Ketiga, katanya ada riwayat, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mau berjabat tangan dengan pria terpapar penyakit kala prosesi bai'ah al-ridlwan.

Keempat, katanya beliau juga melarang istrinya, A'isyah mengunjungi ayahnya, Abu Bakr yang sedang demam tinggi. Kelima, qaidah fiqiyah yang mengedepankan prefensi (dar' al-mafasid) dll. Apa Nabi SAW dan Umar tidak ngerti taqdir?.

Sementara madzhab yang tetap menyeru shalat jum'ah dan jamaa'ah maktubah berdasar : 
Pertama, dalam perang berkecamuk saja shalat berjama'ah masih disyari'atkan (al-Nisa':102).

Kedua, ada jaminan resmi dari Rasululah SAW, bahwa masjid adalah benteng perlindungan orang beriman dari wabah. 

Ahli masjid, pejama'ah aktif tidak akan terkena wabah. Ketiga, memang Rasulullah SAW dan Umar R.A. menghindari wabah, tapi kala itu jum'ahan dan berjama'ah jalan terus. 

Keempat, hukum dasar berobat adalah mubah (al-ashl fi al-tadawi al-ibahah).

Segudang contoh orang-orang shalih yang tidak mau berobat.
       
Memilih tidak jum'ahan, tidak berjama'ah memang benar, tapi nampak kurang percaya terhadap jaminan perlindungan keamaan yang diberikan Nabi Muhammad SAW. Kurang punya ghirah terhadap pahala-pahala yang diguyurkan Tuhan di dalam masjid. 

Ada pahala berlipat-lipat, ada rahmat dan ada keberkahan. 
Sebaliknya, memilih jum'ahan dan sok "lillahi ta'ala" juga tidak benar. 

Karena Tuhan mengajari kita agar menjaga diri. (Tanpa ikhtiyar, hanya pasrah, namanya TAWAAKAL. Ada alif setelah waw. Sedangkan Ikhtiar dulu, baru pasrah, namanya TAWAKKAL. Huruf waw ditasydid).

Rasanya, di negeri ini lebih maslahah masjid-masjid tetap ramai dengan shalat jama'ah dan jum'ah, tadarus dan munajah dengan tetap usaha sesuai protokol pemerintah.

Semua masjid, mushalla disemprot anti virus, disediakan sanitasi bersih, cairan anti septic di pintu, membawa sajadah sendiri-sendiri, shaff sedikit renggang tanpa jabat tangan usai shalat.

Jangan samakan antara masjid dengan tempat umum. 

Masjid adalah tempat ibadah, tempat suci yang hanya dihadiri oleh orang-orang yang sudah bersuci lebih dahulu sebelum masuk masjid. 

Tempat berkomunikasi intensif dengan Tuhan yang menurunkan korona. 

Justeru dengan pendekatan dan lobi di tempat ini Tuhan lebih respon dan welas asih.  Tidak sama dengan tempat lain.

Dhuhur di Masjid Istiqlal (?)
Aneh dan tidak dimengerti apa yang terjadi di masjid Istiqlal Jakarta jum'ah kemarin. 

Para jama'ah sudah ngumpul di masjid, shaff renggang, lho kok shalat Dhuhur dan tidak shalat jum'ah. Ini fiqih apa?.

Konversi shalat jum'ah ke dhuhur itu karena alasan "udzur", wabah dan lain-lain yang tidak memungkinkan ngumpul. 

Maka kaum muslimin mengisolasi diri dengan shalat dhuhur di rumah masing-masing. " Shallu fi Rihalikum", atau "Shallu fi buyutikum". 

Lha wong sudah ngumpul semua di masjid kok tidak jum'ahan. Apa alasannya?, apa tidak dosa sengaja meninggalkan jum'ahan macam itu ? Ini namanya ibadah malang kadak.

Kayak upaya pemerintah yang me-lockdown sebagian komunitas, sekolah, kampus, pondok pesantren termasuk masjid dan lain-lain. Padahal mereka orang-orang bersih dan terdidik.

Sementara pasar dan tempat kumuh lainnya dibiarkan. Lockdown malang kadak!
====================

[25/3 06:05] +62 813-3161-7980:

CORONA MEREBAK, IBADAH MALANG KADAK (2)

DR. Ahmad Musta'in Syafi'ie. 
(Pengasuh Madrasatul Qur'an Tebuireng)

------
Memang penyakit itu lintas agama. Tak pandang agamanya apa. Bila lemah, ya kena. Tapi kami yaqin, haqqul yaqin, bahwa islam lebih sempurna memberi panduan. 
Tidak hanya pakai kurikulum "puskesmas" saja, melainkan juga kurikulum "masjid". 

Usulan tetap memakmurkan masjid di tengah corona bukan melawan kurikulum puskesmas, karena setelah lebih dahulu mematuhi kurikulum puskesmas. 
Seperti disteril, cuci tangan, jaga jarak dll. Tidak pula melawan fatwa pembolehan tidak jum'ahan atau berjamaah, justru membantu pemerintah dalam penanganan korona.  

Pertama, masjid adalah tempat sujud, tempat mengadukan semua problem kepada Dzat yang maha kuasa. Apalagi dilakukan secara kolosal dan demonstratif (berjama'ah), maka Tuhan tak tega menolak. Jika Anda yakin ini, maka izinkan masjid membantu percepatan penyelesaian corona dengan caranya sendiri. 

Untuk itu, datanglah besopan-sopan ke Rumah-Nya, seperti anda beramai-ramai datang ke istana menuntut sesuatu. Di masjid, Tuhan telah lama menunggu kedatangan kalian. Saatnya berik'tikaf menyeluruh, muhasabah dan isftigfar, serta membuka pintu masjid di malam hari. Saatnya semua ber-QUNUT NAZILAH secara tadlarru' wa khufyah. 

Simak salah satu penggalan kata dalam qunut nazilah. ".. Allahumm idfa' 'anna al-bala' wa al-waba' wa al-ghala'...". (tangkislah kami dari bala, waba dan ghala). Ada keterkaitan antara ketiganya : al-bala' (cobaan, belai :  Jawa), al-waba' (wabah, korona), al-ghala' (harga mahal). Terbaca, bahwa Masjid tidak hanya memproyeksikan dihilangkannya corona saja, melainkan juga bala' yang lain, bahkan memohon stabilitas ekonomi yang bisa terjadi akibat dampak wabah. 

Betapa banyak orang yang tega mengeruk untung dari sekedar penjualan masker, jahe dan temulawak. Belum lagi kalau "lock down", maka kebutuhan pokok jadi rebutan. Sungguh hal yang tidak terjangkau oleh kurikulum puskesmas. 

Dan itu hanya bisa dilakukan bersama, di masjid.

Dalam sejarah orang-orang shalih terdahulu, tidak ada qunut nazilah yang tidak efektif. Semua problem terselesaikan di luar nalar. Padahal zaman dulu, penanganan wabah secara medis tidak secanggih sekarang.   

Kedua, benar-benar ada jaminan dari hadlrah Rasulillah SAW, bahwa Allah SWT tidak akan menimpakan wabah kepada ahli masjid, 'ummar al-masjid. 
Jika anda percaya sabda Nabi ini, maka yakinlah bahwa Tuhan tidak mungkin menebar Covid-19 di rumah-Nya sendiri.

Maka, bagi yang sudah positif terpapar, ya jangan ke masjid. Sekali lagi, karena ahli masjid adalah orang-orang bersih, lahir dan batin, " fihi rijal yuhibbun an yatatahharu" (al-Taubah:108). 

Sementara kerumunan di luar masjid, mall, pasar, resepsi, wisuda, do'a bersama, dan tempat ibadah agama lain tidak ada jaminan.    

Ketiga, corona ini bisa jadi sebagai tes keimanan bagi umat Islam terkait kepeduliannya dengan masjid. Bukankah, hanya orang yang beriman saja yang setia memakmurkan masjid (al-Taubah:18) ?. 

Bagi yang tidak pernah ke masjid memang tak ada beda, diwajibkan, apalagi dilarang. Tapi tidak bagi yang biasa ke (sobo : jawa) masjid. Rasanya ada yang hilang. 
Bukankah Tuhan juga welas asih kepada seseorang yang hatinya "gumantung" di masjid, "rajul qalbuhu mu'allaq fi al-masajid" (Hadis). 

Indah sekali, bila wakil presiden Kiai Makruf Amin mempelopori sisi masjid, sementara pak Jokowi sisi puskesmasnya. 

Tulisan ini sekedar mengimbangi pemikiran fiqih yang lebih fokus ke akaliah dengan mengajak sedikit naik ke zona ilahiah.

KEHILANGAN SANDAL DI MASJID MEMANG KECEWA. SEHARUSNYA LEBIH KECEWA LAGI KETIKA SANDAL ANDA TIDAK PERNAH KELIHATAN DI MASJID.

Hadaana Allah... semoga Allah memberi hidayah kepada kita

Aamiin....

Comments

Popular posts from this blog

7. Istighfar 14 (Empat Belas) Tempat

HUKUM MANAQIB pan

SHOLAWAT BADAWIYAH