SERI PENGGENAHAN kata minal aidin wal faizin berikut sekelumit halal bi halal
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin . . . Aamiiin Aamiin yaa robbal 'alamin.
di masa yang insyaAllah fitri di gembleng kita di bulan yang suci semoga kita semua benar benar Allah jadikan manusia manusia yang beruntung Aamiiin.
kanti roas bingahipun manah lan nambahi keberkahanipun ujian romadhon soho kinabulan janji fitroh (hubungan vertikal) mugio soyo genah, sepodo podo kalian makluk kulo lan sedoyo keluargo Pasuran Putu Santri Nurul Hasan ngaturaken sugeng riyadin, nuhun ikhlasipun penggalih nedi ridlo dateng sedoyo khilaf klwaaan njarak Afwan dzohir wal bathin... munduk munduk nyuop asto sederek sedoyo... nuwun ridlo panjenengan sedoyo...
==========
seri penggenahan mugio tulisane genah ogak blarah insyaAllah
A. penggenahan ucapan lebaran
sering kita dengar bahkan pernah kita ucapkan atau kita terima, kita baca melalui SMS atau inbox iklan-iklan di media cetak dan media elektronik saat idul fitri. Frasa ‘Minal ‘Aidin wal Faizin’, ini sering kita ikutkan dengan frasa “mohon maaf lahir bathin”. Jika kita bersua dengan sesama di hari lebaran, sambil berjabat tangan dan saling merangkul, kita kadang cukup mengucapkan minal ‘aidin wal faizin dengan bermaksud meminta maaf. Di beberapa daerah, kebiasaan ini bahkan juga mentradisi pada hari raya idul adha di daerah tertentu
Tradisi di Indonesia saat merayakan Iedul Fitri adalah saling memberikan ucapan selamat. Banyak orang mengucap atau menuliskan Minal Aidin Wal Faizin, yang biasanya orang mengucapkan ini dengan maksud minta maaf lahir batin karena mengira artinya demikian.
Kata minal aidin wal faizin itu sebenarnya sebuah ungkapan harapan atau doa. Lafadz lengkapnya adalah "Ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin", artinya Semoga Allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung (menang).
ini merupakan ‘urf (kebiasaan) yang ada di suatu masyarakat. Makna yang terkandung di dalamnya sebuah harapan agar Ramadhan yang telah kita jalani benar-benar bernilai iman dan ihtisab, sehingga kita saling mendoakan agar dikembalikan kepada kesucian, dalam arti bersih dari dosa-dosa.
Kata ‘aidin berasal dari akar kata ‘ada-yaudu’ yang berarti kembali, sehingga ‘aidin menunjukkan para pelakunya, yaitu orang-orang yang kembali. (Ada juga yang menghubungkan al Fitr dengan Fitrah atau kesucian, asal kejadian), sehingga bisa berarti kembali suci setelah sebulan berpuasa.
Sedang kata Faizin berasal dari kata faza-yafuzu yang berarti menang. Maka, faizin adalah orang-orang yang menang. Menang di sini berarti memperoleh keberuntungan berupa ridha, ampunan dan nikmat surga. Sementara kata min dalam minal menunjukkan bagian dari sesuatu.
Dengan demikian, frasa “Minal Aidin wal Faizin” adalah ungkapan harapan dari penggalan sebuah doa dari doa yang lebih panjang yang biasa diucapkan oleh para sahabat ketika selesai menunaikan ibadah puasa yakni : Ja’alanallahu wa iyakum minal ‘Aidin wal Faizin”, yang artinya “Semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”.
Ibn Taimiyah, Ibn Quddamah, Imam Ahmad, para imam lainnya menyatakan, jika saling bertemu pada hari idul fitri, ucapan yang lebih pantas untuk diucapkan adalah Taqobalallaahu minnaa wa minkum di antara sesama muslim pelaksana puasa, bahkan kadang dengan menambahkan: shiyamana wa shiyamakum. Arti frasa ini adalah semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian amal ibadah puasa kita semua selama bulan Ramadan. Jika anda penggemar lagu Bimbo, maka anda bisa mendengar salah satu lirik lagu seperti ini (taqabbalallahu minna wa minkum, shiamana wa shiamakum). dan bagi yang faham bab ini bianya ketika mendapat ucapan "Ja’alanallahu wa iyakum minal ‘Aidin wal Faizin atau taqabbalallahu minna wa minkum, shiamana wa shiamakum santri menjawabnya meniru ucapan para sahabat dengan kata kullu ammin wa antum bikhair’ (Semoga setiap tahun kalian dalam keadaan sehat).
B. halal bi halal
kata HALAL BI HALAL Pertama Halal bi Halal menjadi: thalabu halâl bi tharîqin halâl; mencari kehalalan dengan cara yang halal. Kedua, halâl “yujza’u” bi halâl; kehalalan dibalas dengan kehalalan. meski ungkapan kata ini tidak di kenal oleh bangsa arab akan tetapi dalam kajian bahasa ada istilah teori izhmâr yaitu teori sisipan kalimat.
Untuk yang kedua ini hampir sepadan dengan redaksi ayat al-Qur’an saat berbicara hukum qishâs “anna al-nafsa bi al-nafsi, wa al-’aina bi al-’aini; sesungguhnya jiwa dibalas dengan jiwa dan mata dibalas dengan mata” (QS. Al-Maidah: 45). Dalam redaksi ayat tersebut, mufasir biasanya memahaminya dengan teori izhmâr, menjadi: anna al-nafsa “tuqtalu” bi al-nafsi, wa al-’aina “tufqa’u” bi al-’aini. Hanya bedanya kalau Halal bi Halal berbicara dalam konteks positif, sedangkan redaksi ayat tersebut dalam konteks negatif.
sedangkan Tradisi bersalam-salaman memang tidak ada perintah secara khusus untuk dilakukan pada hari raya fithri. Namun secara umum, bila dua orang muslim bertemu, bersalaman adalah hal yang dianjurkan. Jadi ketika kita berkunjung ke rumah teman atau famili, tentu saja ketika bertemu kita umumnya melakukan salaman.
Dari Al-Barra’ bin ‘Azib ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bila dua orang muslim bertemu lalu mereka saling bersalaman dan memuji Allah SWT serta meminta ampun kepada-Nya, maka keduanya diampuni sebelum keduanya berpisah.(HR Abu Daud)
Dari Anas bin Malik ra. berkata bahwa para shahabat nabi SAW bila bertemu, mereka saling bersalaman. Dan bila datang dari perjalanan mereka saling berpelukan.
membudayakan sunnah dengan cara dan corek sendiri sesuai budaya yang ada asalkan tidak bertentangan denngan dalil asal maka menjadi satu kebaikan tersendiri dan menjadikan maslahah adalah di benarkan dalam agama
Barangsiapa yg membuat ajaran kebaikan (pahala) dalam islam (tidak melanggar syariah), maka baginya pahalanya, dan barangsiapa yg membuat ajaran buruk (dosa) maka baginya dosanya dan dosa mereka yg mengikutinya" (Shahih Muslim Hadits No.1017).
C. sejarah
Halal bi halal merupakan budaya khas Indonesia, khususnya di Jawa, tapi istilah ini sudah meng-Indonesia. Meski istilah ini banyak mendapatkan kritik dari sisi bahasa, dan terlepas betul tidaknya istilah halal bi halal dari sisi tata bahasa, sebenarnya istilah ini memiliki nilai historis tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Penggagas istilah “halal bi halal” ini adalah KH. Wahab Chasbullah. Ceritanya begini: Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.
Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Romadlon, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.
“Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, jelas Kyai Wahab.
Dari saran kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah Halal bi Halal sebagai kegaitan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.
akhir kata taqabbalallahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum’, ‘Ja’alanallahu waiyyakum minal aidin wal faizin’ kullu ammin wa antum bikhair...
nedo nrimo...
.
Comments
Post a Comment