HUBUNGANNYA KYAI dan SANTRI
HAL MENDASAR DARI HUBUNGAN KYAI DAN SANTRI ADALAH BERBEDA DENGAN MISALNYA DOSEN DENGAN MAHASISWA ATAU GURU DENGAN SISWA
"seseorang
yang memiliki rasa ta'dhim kepada kyai dan keluarganya, akan menjadi
pribadi yang sholih dan berakhlakul karimah, sebab di dalam dirinya
sudah hilang rasa asa nafsu ego dan kepentingan merasa memiliki
amal/kemampuan, sebab ia sadar amal dan kemampuannya ia dapati dari
kyainya"
"JIKA BUKAN KARENA KYAIKU, AKU BUKANLAH SIAPA-SIAPA"
imam syafi'ilha kita ini apa dan siapa tanpa bimbingan dan perjuangan dan asuhan darinya...???
Pondok pesantren sebagai pusat studi Islam klasik merupakan salah satu bentuk dari kearifan lokal (local wisdom) dari
sekian banyak khazanah warisan budaya Islam Nusantara. Secara harfiah
pesantren berarti lembaga pendidikan Islam tradisional untuk
mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Concern pesantren
sesuai visinya adalah mencetak kader-kader andal yang siap memenuhi
kebutuhan masyarakat. Lebih dari itu pesantren mengharapkan setiap anak
didiknya menjadi seorang Insan Kamil, manusia paripurna yang memiliki budi pekerti luhur; tidak meresahkan masyarakat dan barang tentu hubbul wathon, mencintai tanah airnya dengan sepenuh hati dan segenap jiwa raga mereka.
Jika
disebuah universitas orang akan mengenal istilah dosen-mahasiswa, dalam
sistem pendidikan pesantren kita akan dikenalkan dengan istilah
kiai-santri. Sekilas mungkin keduanya akan terlihat sama, kiai guru,
dosen juga guru; mahasiswa murid, santri juga murid. Namun, pada
kenyataannya istilah yang digunakan mempunyai perbedaan yang begitu
mendasar, jika dosen hanya diposisikan sebagai pengajar yang apabila
setelah jam pelajarannya selesai maka tugasnya pun selesai. Hal ini
berbeda jauh dengan kiai, hubungan kiai dengan para santri tidaklah
sesimpel dosen dengan mahasiswa. Kiai diposisikan bukan hanya sebagai
pengajar, namun juga sebagai pendidik spiritual para santri yang
didalamnya terdapat hubungan istimewa yaitu hubungan yang dijiwai oleh
semangat nasyrul ilmi yang sama-sama akan mereka emban untuk misi dakwah islamiah, menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin, di
mana para santri mendapat pengajaran tentang akidah, adab (tata krama),
dalil-dalil agama agar mereka siap untuk menghadapi lika-liku kehidupan
dunia.
Beberapa perbedaan kecil antara kaum
akademisi dan pesantren dapat kita lihat bahwa sebelum mengajar, seorang
kiai dan para santrinya bersama-bersama mendoakan guru-guru mereka
dengan harapan supaya silsilah sanad keilmuannya bisa selalu on time
terkoneksi dengan baik dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat serta
kebaikan hidup dari apa yang akan mereka pelajari. Ritual semacam ini
mungkin jarang terlaku, bahkan bisa jadi tidak akan kita temukan
disekolah-sekolah umum maupun diuniversitas-universitas ternama
sekalipun. Jika yang ditinjau aspek materi, kebayanyakan para kiai
tidaklah digaji atau tidak ada yang menggaji, namun ‘profesinya’ itu
tetap dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih, sebab, disamping merupakan
panggilan keberagamaan dan bentuk ketaatan terhadap doktrin nilai-nilai
ajaran agamanya juga merupakan wujud kepeduliaannya kepada masyarakat.
Relasi
antara kiai dengan santri tak terhenti sampai di situ. Seorang kiai
akan menjadi pelindung bagi mereka, sementara para santri secara gotong
royong membantu keperluan dan kebutuhan hidup sang kiai, misalanya
dengan mengerjakan sawah dan tanah ladang kiainya. Dukungan ini terjadi
di samping karena figur sang kiai yang telah mendapatkan pengakuan
secara penuh, juga dikarenakan mereka merasa berhutang budi atas
bimbingan dan kebaikan sang kiai, atau dalam istilah santri mereka
anggap hal itu sebagai wujud khidmah mereka
kepada guru. Hal semacam ini, ikut andil dalam menciptakan suasana
ikatan kekeluargaan yang kuat di antara mereka. Hingga saat ini banyak
sekali pondok pesantren yang masih melestarikan perilaku ini. Sehingga,
meskipun sang kiai mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, terkadang pula
mendapat sumbangsih dari hasil bumi atau bentuk lainnya dari keluarga
para santri dan masyarakat sekitar yang berkecukupan secara ekonomi.
Karenanya,
dapat dipahami, jika hubungan mereka tidak lantas terputus seusai
seorang santri menyelesaikan masa pendidikan. Tidak ada mantan murid,
pun tidak ada mantan kiai. Inilah prinsip yang selama ini dipegang di
kalangan pesantren, hubungan seorang santri dengan gurunya di pondok
pesantren akan terus bertahan sampai akhir hayat kehidupannya dan tidak
bisa diputuskan oleh apa pun juga. Guru adalah guru dan murid adalah
murid, inilah realitas yang berlaku di dunia pesantren.
Maka,
seringkali seorang kiai dilibatkan sebagai pertimbangan utama sekalipun
dalam hal-hal yang sangat pribadi. Misalnya tentang keputusan memilih
pekerjaan, begitu percayanya seorang santri dengan konsep barakah. Maka
tidak sedikit seorang santri meminta petunjuk dan doa restu tentang
pekerjaan yang baik untuknya. Tentang keputusan memilih calon istri atau
calon suami, seringkali para kiai menjadi 'mak comblang; untuk para
santrinya dengan orang lain. Malahan, kiai sendiri kadang yang
melamarkan untuk santrinya. Tentang pemberian nama bagi putra-putri
santrinya, kai juga sering dilibatkan. Mereka yakin bahwa nama seseorang
akan banyak berpengaruh dengan masa depannya kelak, begitu juga dari
siapa nama itu diberikan. Dengan meminta kiai memilihkan nama pada anak
mereka, para alumni yakin bayi mereka akan mengalami nasib yang baik.
Begitu pun ketika terjadi konflik keluarga, kiai sering kali diminta
untuk menjadi penengah dalam menyelesaikannya.
Melihat
sejarahnya, relasi kiai-santri bukan merupakan suatu hal yang aneh,
hubungan ini sudah lama terlaku. Kesakralannya membawa hubungan batiniah
yang begitu kuat dan menjadi suatu chemistry tersendiri bagi keduannya.
Ketika
Indonesia masih berjuang melawan penjajah, banyak kita temukan seorang
kiai menyerukan perlawananan, mengobarkan semangat nasionalisme, dan
mengangkat senjata bersama-bersama dengan para santrinya. Bukti nyata
atas hal tersebut yakni terbitnya Resolusi Jihad oleh KH Hasyim Asy’ari
yang berisi seruan wajib bagi seluruh penduduk Indonesia yang berada
pada jarak masafatul qosri
untuk berjihad melawan para penjajah. Dampaknya, dengan
berbondong-bondong para santri menyambut seruan itu. Mereka berlomba
menjadikan diri mereka sebagai seorang santri yang sami’na watha'na, mendengar
dan siap melaksanakan setiap apa yang diperintahkan sang guru. Maka,
tak heran jika ada seorang kiai yang sekaliber Mbah Kiai Abdul Karim
saat menjelang wafatnya, yang ia inginkan hanyalah supaya bias diakui
sebagai santri Si Mbah Kiai Kholil Bangkalan. Karena bagi diri para
santri, pengakuan seorang kiai atas kesantriannya adalah suatu harga
mati yang amat begitu sakral demi terjalinnya hubungan batiniah mereka
dengan sang guru.
Kalau kita cermati secara
mendalam, hubungan santri dengan kiai adalah hubungan yang saling
melengkapi (komplementer). Ibarat sebuah bangunan, maka kiai sebagai
pondasinya dan para santri sebagai tubuh bangunannya itu sendiri. Karena
kiailah yang meletakan dasar-dasar pengetahuan dan amaliahnya,
sedangkan para santri yang melajutkan dasar-dasar tersebut
Pada
akhirnya, potret tersebut melahirkan statement bahwa hubungan kiai dan
santri tidak lagi sebatas murid dengan guru. Namun, bertransformasi
lebih kedalam sebuah hubungan 'batiniah ideologis' yang
mengimplementasikan bentuk dan nila-nilai pendidikan seumur hidup (long life education).
Karena dalam hubungan silaturahim yang mereka bagun dan rawat, di
dalamnya ada semangat tetap saling belajar, transformasi tata nilai,
transformasi budaya dan tradisi keagamaan.
Alfaqir MUSLIMIN ABDUL AZIS
.
Alfaqir MUSLIMIN ABDUL AZIS
.
Comments
Post a Comment